Jihad Dan Ketentuan Pengamalannya
Sering kita mendengar kata jihad, jihad dan jihad yang secara serampangan dipahami dengan maksud berjuang dan berjuang. Namun tidak banyak dari mereka yang tahu arti dari jihad, tata caranya, dan tujuan sebenarnya. Karena ketidaktahuan, yang dihasilkan bukan sesuatu yang sebenarnya menjadi tujuan inti dari jihad itu sendiri.
Sebelum melangkah untuk berjihad alangkah baiknya kalau kita memahami terlebih dahulu makna dan tujuan jihad seutuhnya menurut pandangan syariat Islam.
Jihad dalam pengertian bahasa berasal dari akar kata jahd yang bermakna “berusaha sungguh-sungguh dengan mengerahkan segenap kemampuan.” Dalam makna yang lebih luas jihad mempunyai pengertian menanggulangi musuh yang tampak, setan, dan hawa nafsu. Hal ini tercermin dalam firman Allah SWT.
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ
Artinya, “Berjuanglah kalian di jalan Allah dengan perjuangan yang sebenar-benarnya,” (Surat Al-Hajj ayat 78).
Jihad bermakna luas yakni bersungguh-sungguh dan bekerja keras melakukan kebaikan. Menurut ulama, jihad dapat dimanifestasikan dengan hati, menyebarkan syariat Islam, dialog dan diskusi dalam konteks mencari kebenaran, mempersembahkan karya bagi kemanfaatan Muslimin dan dengan melawan kekafiran. Artinya, jihad dapat dilakukan dengan berbagai cara, bukan hanya dengan mengangkat senjata.
Sedangkan makna “Sabilillah” dalam ayat tersebut menurut pendapat mayoritas ulama adalah melakukan segala bentuk ketaatan sehingga mengentaskan kebodohan dan kemiskinan merupakan contoh-contoh jihad dalam makna semacam ini. Ibnul Jauzi berkata di dalam kitabnya Zadul Masir fi Ilmit Tafsir.
قَوْلُهُ تَعَالَى : {وَجَاهِدُوا فِى اللَّهِ } فِيْ هَذَا الْجِهَادِ ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ. أَحَدُهَا : أَنَّهُ فِعْلُ جَمِيْعِ الطَّاعَاتِ، هَذَا قَوْلُ الْأَكْثَرِيْنَ
Artinya, “Ada tiga pendapat di dalam arti jihad di dalam firman Allah ini. Yang pertama adalah melakukan segala bentuk ketaatan, dan ini pendapat mayoritas ulama’.” (Lihat Ibnul Jauzi, Zadul Masir, Beirut, Darul Fikr, 2005, cetakan kedua, jilid III, halaman 331).
Kita bisa juga memahami “Sabilillah” sebagai memerangi hawa nafsu seperti sabda Nabi dalam sebuah hadits.
رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ
Artinya, “Kita pulang dari pertempuran yang kecil menuju pertempuran yang besar,” (HR Ad-Dailami).
Dalam Islam, kewajiban berjihad hanyalah dalam tataran perantara (wasilah) dengan sebuah tujuan utama membawa petunjuk (hidayah) kepada umat manusia untuk menuju agama Allah sehingga ketika dengan media dakwah maupun transformasi pengetahuan hidayah sudah dapat tercapai, cara-cara seperti ini jauh lebih baik daripada harus mengangkat senjata.
Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyati Asy-Syafi’i berkata di dalam kitab Hasyiyah ‘Ianatut Thalibin.
وَوُجُوْبُ الْجِهَادِ وُجُوْبُ الْوَسَائِلِ لَا الْمَقَاصِدِ إِذِ الْمَقْصُوْدُ بِالْقِتَالِ إِنَّمَا هُوَ الْهِدَايَةِ وَمَا سِوَاهَا مِنَ الشَّهَادَةِ وَأَمَّا قَتْلُ الْكُفَّارِ فَلَيْسَ بِمَقْصُوْدٍ حَتَّى لَوْ أَمْكَنَ الْهِدَايَةِ بِإِقَامَةِ الدَّلِيْلِ بِغَيْرِ جِهَادٍ كَانَ أَوْلَى مِنَ الْجِهَادِ
Artinya, “Kewajiban jihad adalah washilah (perantara) bukan tujuan, karena tujuan perang aslinya adalah memberi hidayah/petunjuk kebenaran. Oleh sebab itu membunuh orang-orang kafir bukanlah tujuan yang sebenarnya sehingga seandainya hidayah bisa disampaikan dan dihasilkan dengan menunjukan dalil-dalil tanpa berperang, maka hal ini lebih utama daripada berperang,” (Lihat Sayyid Bakri, Hasyiyah Ianatut Thalibin, Beirut, Darul Fikr, 2006, cetakan kelima, jilid IV, halaman 181).
Di samping itu, jihad yang kita artikan sebagai memerangi kekafiran harus ditempatkan dalam koridor jelas. Artinya, dalam jihad model ini prosedur maupun persyaratan di dalamnya sangat ketat. Mirip dengan ketatnya persyaratan dalam melakukan amar ma’ruf terutama ketika sudah masuk dalam konteks bermasyarakat dan bernegara.
Bagaimana mungkin perjuangan yang telah banyak mengabaikan etika maupun prosedur berjihad bisa dinamakan jihad? Apalagi kekerasan yang dilakukan telah banyak melanggar baik syariat maupun norma kemanusiaan, di antaranya:
- Banyak mengorbankan mereka yang tidak berdosa.
- Media dan sarana yang digunakan sangat kontradiktif dengan warna jihad dalam Islam.
- Dampak negatif terhadap kaum Muslimin lebih besar (kontraproduktif).
- Mereka tidak menyadari bahwa jihad sangat erat kaitannya dengan wewenang pemerintah, bukan kelompok ataupun individu.
Artinya, mereka belum memahami jihad secara utuh, sekaligus belum memahami Indonesia secara sempurna.
Warga negara non-Muslim di negara kita harus ditempatkan dalam bingkai syariat secara benar sehingga dapat dipahami bahwa mereka tidak seperti kafir harbi yang harus diperangi sehingga hak dan kewajiban mereka tetap dilindungi. Bahkan menjaga hubungan dan hak mereka adalah kewajiban umat Islam.
Jihad secara utuh dapat dilakukan dengan berbagai cara. Perjuangan dalam pendidikan, perekonomian dan bidang-bidang lain untuk kemaslahatan umat Islam adalah jihad fi sabilillah. Justru cara-cara demikian yang harus dilakukan sekarang ini di bumi Indonesia. Wallahu a’lam. (Muhammad Sibromalisi)