Tetangga adalah orang yang paling dekat rumahnya dengan kita. Dalam Islam, tetangga memiliki hak-hak tertentu sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, seperti hak untuk mendapatkan rasa aman dari gangguan dan sebagainya.
Selain itu, ada sejumlah adab bagi tetangga sebagaimana disebutkan Imam Al-Ghazali dalam risalahnya berjudul al-Adab fid Dîn dalam Majmû'ah Rasâil al-Imam al-Ghazâli (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, t.th., halaman 444), sebagai berikut:
آداب الجار: ابتداؤه بالسلام، ولا يطيل معه الكلام، ولا يكثر عليه السؤال، ويعوده في مرضه، ويعزيه في مصيبته، ويهنيه في فرحه، ويتلطف لولده و عبده في الكلام، ويصفح عن زلته، ومعاتبته برفق عند هفوته، ويغض عن حرمته، ويعينه عند صرخته، ولا يديم النظر إلى خادمته
Artinya: "Adab bertetangga, yakni mendahului berucap salam, tidak lama-lama berbicara, tidak banyak bertanya, menjenguk yang sakit, berbela sungkawa kepada yang tertimpa musibah, ikut bergembira atas kegembiraannya, berbicara dengan lembut kepada anak tetangga dan pembantunya, memaafkan kesalahan ucap, menegur secara halus ketika berbuat kesalahan, menundukkan mata dari memandang istrinya, memberikan pertolongan ketika diperlukan, tidak terus-menerus memandang pembantu perempuannya.” Dari kutipan di atas, dapat diuraikan kedua belas adab bertetangga sebagai berikut:
Pertama, mendahului menyampaikan salam. Orang-orang yang bertetangga dianjurkan saling menyapa ketika bertemu dengan mengucapkan salam. Tentu saja pihak yang mendahului mengucapkan salam secara akhlak lebih baik dan karenanya mendapatkan kebaikan yang lebih banyak.
Kedua, tidak lama-lama berbicara. Hidup bertetangga tidak bisa lepas dari berbicara satu sama lain. Namun pembicaraan itu sebaiknya tidak kelewat lama. Hal ini demi kebaikan seperti menghindari ghibah atau menggunjing pihak lain yang bisa menimbulkan fitnah dan sebagainya.
Ketiga, tidak banyak bertanya. Mengajukan pertanyaan seperti, “Mau kemana?” merupakan salah satu cara menyapa yang sudah umum. Jika pertanyaan tersebut dijawab, ” Mau ke pasar”, maka tidak harus diajukan lagi pertanyaan yang lebih detail seperti, “Mau beli apa?”, sebab hal ini bisa berarti terlalu ingin mengetahui urusan orang lain. Cukuplah diikuti dengan ungkapan, ”Silakan” atau dalam bahasa Jawa, “Monggo, nderekaken.”
Keempat, menjenguk yang sakit. Ketika tetangga ada yang sakit, ia berhak dikunjungi. Artinya, tetangga yang tidak sakit berkewajiban mengunjunginya tanpa memandang status sosial pihak yang sakit. Bertetangga pada dasarnya adalah berteman sehingga kesetaraan di antara mereka harus dijaga dengan baik.
Kelima, berbela sungkawa kepada yang tertimpa musibah. Seorang tetangga juga berhak dikunjungi ketika sedang tertimpa musibah terutama kematian anggota keluarganya. Hal yang sebaiknya dilakukan dalam kunjungan takziah adalah ikut berbela sungkawa dengan menunjukkan rasa duka dan mendoakan kebaikan terutama bagi si mayit dan keluarga yang ditinggalkan.
Keenam, ikut bergembira atas kegembiraannya. Tidak sebaiknya seseorang merasa tidak senang atas keberhasilan tetangganya disebabkan iri. Hal yang justru dianjurkan adalah saling mengucapkan selamat atas keberhasilan sesama tangga. Dengan cara ini perasaan iri atas keberhasilan tetangga bisa dihindarkan dan pertemanan sesama tetangga dapat terjaga.
Ketujuh, berbicara dengan lembut kepada anak tetangga dan pembantunya. Anak-anak tetangga dan pembantunya merupakan kelompok orang-orang lemah secara sosial sehingga harus dibesarkan hatinya. Salah satu caranya adalah dengan menghindari cara bicara yang bisa membuat mereka merasa takut.
Kedelapan, memaafkan kesalahan ucap. Memberikan maaf kepada tetangga yang terselip lidah sangat dianjurkan sebab bisa jadi suatu ketika seseorang juga berbuat hal yang sama. Dengan kata lain saling memaafkan di antara orang-orang yang bertetangga sangat dianjurkan.
Kesembilan, menegur secara halus ketika berbuat kesalahan. Menegur tetangga yang berbuat salah adalah baik terutama jika kesalahan itu menyangkut kepentingan orang banyak. Namun demikian teguran itu harus dilakukan dengan cara yang baik sehingga diterima dengan baik.
Kesepuluh, menundukkan mata dari memandang istrinya. Memandang istri orang lain, terutama tetangga, harus dengan pandangan yang minimalis, yakni misalnya dengan menundukkan kepala. Hal ini untuk menghindari fitnah, atau timbulnya godaan-godaan yang bersumber dari setan.
Kesebelas, memberikan pertolongan ketika diperlukan. Jika terjadi apa-apa pada seseorang seperti sakit, tertimpa musibah, dan sebagainya, tetanggalah yang lebih dulu mengatahui. Oleh karena itu, menjadi penting memberikan pertolongan segera atas kesulitan yang dialami tetangga.
Kedua belas, tidak terus menerus memandang pembantu perempuannya. Banyak hal negatif bermula dari pandangan mata. Maka penting untuk meminimalisir pandangan terhadap pembantu perempuan. Posisinya yang lemah rentan terhadap kekerasan oleh orang-orang di sekitarnya. Demikianlah kedua belas adab bertetangga sebagaimana nasihat Imam Al-Ghazali. Jika disarikan, maka kedua belas adab tersebut pada intinya menekankan bahwa hidup bertetangga harus saling menghargai, tolong-menolong dan menjaga keharmonisan. Namun demikian diperlukan sikap hati-hati dalam berinteraksi dengan lawan jenis agar terhindar dari fitnah.
Oleh : Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.